Seorang Perempuan dan Pohonnya
INI LAH mungkin wujud sesungguhnya dari sebuah kesialan itu. Ketika Pandora membuka peti, seluruh kutukan yang paling mengerikan berlompatan, bergulingan, lalu melekat erat-erat di tubuh perempuan. Seperti uap, kadang baunya menyengat dan memusingkan orang-orang yang berada di sekitarnya. Bahkan membuat mual si pemilik tubuh.
Kutukan itu menempel erat, tak ada sepotong makhluk pun bisa mengupasnya. Semua itu harus dijalani seorang perempuan. Dengan tubuhnya yang indah dan bertaburan aroma sering mengundang keringat lelaki meleleh.
Perempuan harus punya cinta , harus jatuh cinta, dan harus mahir bercinta!
Konon, tanpa rasa cinta seluruh makhluk di bumi ini tidak ada. Katanya cinta juga bisa membuat pralaya, grubug, kiamat!
Apakah pohon tumbuh juga karena cinta? Aku tumbuh karena cinta? Cinta dari siapa? Apakah aku memiliki orang-orang yang mencintai aku? Atau, punyakah aku cinta? Bolehkah kita hidup tanpa cinta? Bisakah kita tumbuh tanpa cinta? Besarkah kita? Hidupkah?
Lalu kenapa harus ada perceraian, perpisahan? Di mana cinta bersembunyi saat itu? Apa itu bagian dari cinta dengan wujudnya yang berbeda?
Aku tidak percaya cinta itu ada. Sejak adikku berkata:
"Kita ini anak siapa? Kenapa orang yang mengaku orang tua kita sibuk dengan anak-anak mereka. Lalu pada siapa kita harus mengadu? Bermanja-manja. Minta tolong. Kita ini anak siapa? Apakah kelahiran kita diinginkan? Kenapa sejak kecil kita harus mencoba mengerti tentang mereka? Kapan mereka mau mendengarkan kita, memperlakukan kita sama seperti anak-anak baru mereka? Berpikir tentang kita? Khawatir sesuatu yang membahayakan mengancam kita? Punyakah mereka cinta, harapan, dan cerita ketika membuat kita?"
Aku tidak bisa menjawabnya. Pemikiran itu justru tidak pernah ada di otakku sampai adikku berkata seperti itu. Iya, punyakah manusia-manusia yang membuat kami ada sepotong cinta? Mungkin secuil. Sampai buntu otakku, tidak ada jawabannya.
Tapi aku senang dengan pertanyaan adikku itu. Aku mulai mencari hakikat cinta yang membuat aku ada. Melalui sebuah pohon beringin besar yang tumbuh di kuburan.
Dia begitu ramah. Kukuh dan kuat. Setiap memandangnya kutemukan figur bapak. Sulur-sulur yang memenuhi tubuhnya sering kulihat seperti tangan lelaki yang ingin mendekapku. Kadang keteduhan daunnya yang hijau dan beraroma cinta seperti potret seorang ibu yang menimang anaknya. Menciumi tubuhnya yang lembab. Kutemukan kedamaian dan kasih sayang. Kutemukan wajah bapak dan ibuku yang hilang.
Aku mengagumi pohon beringin besar yang tumbuh dekat Pura Dalem di tikungan gang. Aku sering lewat di jalan itu menuju kantor. Kulewati jalan itu hampir lima tahunan. Tapi aku tidak pernah melihat pohon itu, sampai sebuah peristiwa menimpaku.
Aku hampir ditabrak dokar. Pohon itulah yang menolongku sehingga aku tidak masuk lubang besar. Tangannya yang kukuh merangkul tubuhku yang kurus. Aku pun berayun tidak jadi masuk got. Kami tertawa dan melempar senyum.
Aku selalu mengagumi pohon itu. Terlihat kekar, dengan urat-urat keras dan kaku. Bagiku, dia satu-satunya makhluk hidup yang paling menggairahkan dibanding makhluk hidup yang lain. Dia sangat seksi mengalahkan ratusan lelaki yang pernah kukenal dalam hidupku.
Kau tahu pohon beringin?
Kuceritakan padamu tentang aku dulu, sebelum kau mengenal pohon beringinku. (saat ini kehadiran dia seperti seorang kekasih bagiku. Diam-diam, aku sering melumatnya di dalam otakku. Menggenggam bayangnya untuk menidurkan tubuhku). Begini ceritanya, diamlah. Aku akan memulai cerita ini.
Aku seorang perempuan, tubuhku kurus. Tulang-tulangku terbuat dari lidi enau, terlalu kecil untuk kriteria seksi. Tapi aku menyukai bentuk tulangku yang kecil, terlihat lucu.
Rapi dan cantik. Mirip susunan gamelan. Tubuhku juga tidak gampang menggelembung seperti balon. Sering juga aku terobsesi ingin gendut, kesannya seksi memiliki tubuh sintal. Kuambil pompa kumasukkan ke mulutku, aku ingin sekali melihat tubuhku gendut. Seperti apa tampangku kalau gendut? Seperti drum minyak tanah? Atau seperti ibu-ibu gendut yang kerjanya menonton tv sambil mengunyah camilan. Pipinya tumbuh seperti bakpao.
Jari-jariku tangkai bunga rumput. Rambutku buih ombak. Tubuhku belalang hijau yang sering menggerogoti dan membunuh daun-daun muda. Otakku ditumbuhi beratus jenis akar. Bukan urat kupikir, karena setiap akar dalam otakku, selalu memiliki cerita sendiri, satu dengan yang lain berbeda. Kau pasti tidak percaya. Kadang, akar-akar dalam otakku juga berbicara sendiri. Yang sering membuatku jengkel, akar dalam otakku sering memiliki keinginan sendiri. Sering sekali dia bertindak semaunya.
Sialnya, dia juga bisa memaksaku! Untuk melakukan suatu hal yang dia inginkan. Kau bisa bayangkan akar-akar otakku? Dia itu makhluk paling egois, yang selalu meremas setiap impianku, dan menggelindingkan mimpinya sendiri untuk kuteguk. Main paksa!Pernah aku datang ke praktek dokter terkenal. Kata orang-orang, dia adalah dokter terbaik di pulauku, tamatan sekolah terbaik di Jerman. Orangnya lucu, tampangnya tidak menunjukkan dia seorang intelektual (seperti teman-teman yang sering kutemui), dia terlihat seperti lelaki minder, tapi aku yakin otaknya pasti ditumbuhi akar.
Ketika dia melihatku, aku merasa langsung sembuh. Matanya saja mampu mengobati penyakitku. Aku tak bicara, dia langsung memegang kepalaku. Dia benar-benar mengerti maksudku, aku direbahkan di kasur putih, sebuah alat yang kupikir mangkuk, menyekap kepalaku. Sebuah sinar, mengupas tubuh dan tulangku. Juga otakku rasanya seperti dikelupas. Sinar itu juga hampir membunuh mataku. "Sudah. Anda bisa duduk kembali."Dia hanya manggut-manggut, menulis sesuatu di kertas, lalu menyuruhku antre di apotek.
Aku tak pernah menebus obat yang diberikannya, karena matanya mampu membuatku lebih segar. Bagiku itu sudah cukup. Sejak bertemu dengan dokter itu, aku merasa lebih fit. Aku punya teman yang mengerti bahwa kepalaku tidak dipenuhi urat tapi akar!
***
Sekarang aku ada di jalan. Motorku tiba-tiba saja mati di sebuah tikungan yang sangat tajam, aku merasa ada beratus-ratus mata menatapku. Aku mendengus. Menantang tatapan mata itu. Gila! Mata itu berasal dari sebuah pohon beringin besar, sangat besar! Daunnya membungkus batangnya. Kakiku, kakiku, kaku! Benar-benar kaku. Aku mendekat, tubuh pohon beringin itu memiliki aroma khas, daging manusia terbakar! Aku menarik napas, wanginya benar-benar luar biasa, merasuk, dan melubangi pori-pori tulangku. Aku menyukai bau itu, begitu khas, dan membuatku bergairah.
Sejak bertemu dengan pohon beringin itu, aku melupakan dokterku. Yang ada di kepalaku hanya tubuh pohon itu, daunnya rimbun, dan hijau, dia tampak begitu seksi dan menakjubkan. Akar-akarnya begitu liar ketika menyentuh tubuh tanah. Aku sering bergidik, ketika mereka mulai bermesraan. Kadang beringin besar itu meneteskan cairan yang berbau anyir. Aku senang memandang kemesraan tanah, dan pohon beringin itu. Yang membuatku takjub lagi, tanah itu mengandung bangkai manusia. Itulah pohon beringin itu, orang-orang sering datang mengambil daunnya untuk upacara. Musik di tabuh, bunga di sebar. Setiap orang-orang datang pohon beringin itu tersenyum, sambil merontokkan beberapa daunnya. Dia senang mendengar gamelan, kadang matanya sering nakal ketika melihat perempuan-perempuan cantik berkain dan berkebaya ketat bersandar di tubuhnya.
Orang-orang yang memetik daunnya sering bercerita padaku, pohon beringin itu sesungguhnya telah ada sejak raja Denpasar membangun Pura Dalem ini, bahkan raja bisa berdialog dengannya. Pohon itu juga bisa menceritakan asal-usul kerajaan Bali, bahkan dia juga konon bisa memberi tahu, perempuan tercantik yang harus dijadikan istri oleh raja untuk menambah kewibawaan,kekuasaan dan kejantanan. Masih kata orang-orang, pohon beringin itu bisa membunuh orang-orang yang ingin menguji kesaktiannya. Getahnya bisa membuat orang buta.
Ranting pohonnya bisa menjelma keris tajam yang siap menjatuhkan tubuhnya di jantung manusia, menghisap darah dan menyedot energi hidup. Aku menyukai pohon beringin itu. Sampai suatu hari, ketika aku menikah. Pohon itu tiba-tiba saja muncul di atas tubuhku. Dia ingin menindih tubuhku. Bahkan dari sorot matanya aku tahu dia ingin meremas dan membunuh lelakiku. Kulihat, akar-akarnya mulai mendekati ubun-ubun lelakiku. Aku ingin berteriak, membangunkan lelaki yang tertidur di sebelah kiriku. Lelakiku tetap diam, bahkan membalikkan tubuhnya.
***
Pagi-pagi aku terbangun. Setumpuk cucian piring, sisa nasi, sisa sayuran, dan sisa makanan kami. Tiga hari! Belum dicuci! Aku menutup mataku. Berjalan menuju ruang tamu, kakiku menyentuh benda asing, begitu lengket dan bau anyir. Itu muntahanku, memenuhi seluruh ruang tamuku. Bahkan kulihat kaki kursi dan meja tamu mengambang. Kelihatan sekali mereka jijik. Aku meraba kursi tamu, mereka merenggut tanganku. Lalu bersin, bau cat hampir saja membuatku muntah. Bantal kursiku melompat dan menutup mulutku, muntahanku kembali tertelan. Sekarang aku berbalik. Masih menutup mata. Aku ingin berada di belakang. Aku mencium bau apek, bau yang luar biasa. Pelan-pelan aku membuka mataku. Hyang Jagat! Setumpuk bajuku, dan baju lelakiku! Seminggu, dua minggu, tiga minggu? Aku tidak tahu berapa ratus hari baju-baju itu telah berada di tempat cucian.
Perutku yang membuncit terasa ingin meletus.
***
"Hal terbodoh yang dimiliki manusia adalah mencintai seseorang. Dan kau adalah makhluk bodoh, tolol, goblok! Sialnya lagi kamu perempuan! Dan kamu sedang menunjukkan pada dunia bahwa kau perempuan terhebat. Buktinya, kamu bisa menumbuhkan sepotong dagingmu dan daging lelakimu di perutmu. Kau bangga bisa membuat manusia? Sakitkah? Tidak nyamankah?"
Aku terdiam. Sambil tetap memejamkan mata berharap ada kekuatan gaib yang membantuku membersihkan rumahku. Membantu mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, dan membersihkan sisa muntahanku yang tidak pernah di pel lelakiku, tiga bulan usia makhluk di perutku. Seumur itu juga muntahan di ruang tamu!
"Menjadi manusia itu sial! Coba kau putar otakmu. Ketika kau jatuh cinta, seluruh tubuhmu kau biarkan terbuka, kau berharap semua lelaki bisa dengan santai menghirup aroma keindahannya. Lalu, kau akan memberikan pada seorang lelaki. Juga atas nama cinta! Kau akan melayaninya, bahkan ketika lelaki itu meminta tubuhmu, kau dengan senang hati membuka kulitmu, membiarkan lelakimu itu menyantap tubuhmu. Lalu apa yang terjadi? Ketika lelakimu itu menyantap tubuhmu dengan sendok dan garpu. Membalikkan tubuhmu seperti ikan panggang, menusuk, mengerat dagingmu, lalu menelannya dengan rakus, sampai lelaki itu memekik. Apa yang kau dapat? Tubuhmu ditumbuhi daging, daging yang memiliki akar-akar kuat, menguras seluruh tubuhmu. Itukah hasilnya cinta? Untuk sepotong lelaki, kau korbankan tubuhmu, dagingmu!"
Aku terdiam, sambil tetap memejamkan mataku. Ya, kurasakan tulang-tulangmu sedikit menciut. Gumpalan daging dalam perutku seperti terus mendesak, sering juga dia melompat-lompat, membuatku mual. Dan kembali muntah. Seluruh makanan yang kumasukkan keluar, persis seperti yang kutelan. Lalu mana makanan untuk tubuhku? Sementara tiap malam lelakiku menyantap tubuhku lengkap dengan pisau, sendok, dan garpu. Kadang ditemani white wine terbaik. "Menjadi perempuan itu menurutku sudah kutukan. Kau tambah lagi dengan cinta. Memang kau sering katakan: Hidupku tidak akan lengkap, menjadi perempuan itu harus bisa mencintai, dan cinta itu harus jatuh ke sepotong lelaki, bukan makhluk lainnya, perempuan misalnya! Kau berteriak, dan menyadarkan dirimu sendiri. Kadang aku berpikir kau sedang berkata dan memaki dirimu sendiri. Tapi mencintai itu suatu keunikan. Kau pernah rasakan rasa seperti ini: jam yang tiba-tiba begitu lambat. Hidangan lezat yang hambar, atau kau tidak bisa tidur karena potongan lelaki itu muncul di seluruh ruangan yang kau kunjungi. Bahkan ketika kamu memejamkan mata. Hasilnya apa? Tubuhmu yang tambun. Rasa sakit yang terus mengerat daging di perutmu. Mual yang tak ada habisnya, tulang di pinggangmu yang mau patah! Atau sudah patah?"
Aku lelah. Tak ingin makan, tak ingin pulang. Dan, kupikir aku mulai merasa tak memiliki siapa pun. Tidak juga daging yang mulai tumbuh dan membesar di perutku. Kuseret tubuhku. Aku datang ke pohon beringin kesayanganku."Kau datang lagi kan? Bahagia?"
Aku terdiam, menjatuhkan tubuhku yang mulai membesar. Meluruskan kakiku, dan menyandarkan punggungku ke batang tubuh beringin itu.
***
Sebuah kelelahan yang dalam merusak seluruh akar-akar dalam otakku. Cucian piring yang menumpuk, baju-baju kotor, sampah di dapur, muntahanku yang memenuhi ruang tamu. Kamar tidur yang tidak pernah diganti seprainya. Korden-korden yang diselubungi debu. Taman-taman yang mulai dirambah alang-alang yang makin liar dan meninggi. Kaca-kaca jendela yang menghitam, genteng bocor, kasur bau apek.
Aku merebahkan tubuhku yang makin membesar, ku cium harum rumput. Ketika rasa lapar mengejarku. Daging dalam tubuhku makin menjadi-jadi, kurasakan daging itu mulai menggigit perutku, menguras seluruh simpanan lemak yang menggumpal di perutku.
Aku meringis, kutelan rontokan daun-daun beringin yang mulai membusuk, dan hampir menyelimuti tubuhku. Perutku makin membesar, bahkan daging yang di tanam oleh lelakiku makin menyusahkan.
Pelan-pelan aku mengangkat kakiku tinggi-tinggi. Aku mengambil pisau, ku potong kakiku, kukerat dagingnya. Darah segar menetes dan aku mengisapnya pelan-pelan.
Beratus-ratus tahun aku hidup dari sebuah kaki. Besoknya, kulihat sepotong tubuh lelakiku diusung orang-orang, wajahnya pucat, kain putih mengikat tubuhnya. Orang-orang melempar tubuhnya ke tanah. Aku bersembunyi di balik tumbukan daun beringinku.
Ketika senja datang, akar pohon beringin menguras tanah tempat lelaki di tanam. Seperti potongan kayu kering, lelakiku dihidangkan di depanku. Aku menyerahkan sebuah kakiku, dan lelaki itu menatap mataku, kuhidangkan potongan kakiku, dia mulai bergerak, dia mulai hidup dan bisa bernafas. Sebuah kaki kuberikan untuk sepotong lelaki yang pernah dibenamkan tanah.
Senja turun, dan jatuh menimpa kepalaku. Buntalan perutku meletus, sepotong daging meloncat dari tubuhku. Sepotong lelaki! Beringin itu mencengkeram tubuhku dengan akar-akarnya yang menggantung, lalu membenamkannya ke tanah. Aku berteriak. Mengamuk. Menyelamatkan potongan daging lelaki yang muncrat dari perutku. Dengan sisa kekuatanku, kubunuh pohon beringin itu. Kugigit tubuhnya, kumakan daun-daunnya sampai tak tersisa. Sampai orang-orang tidak pernah lagi bisa melihat tubuh pohon itu lagi. Aku puas, sambil menggendong potongan tubuh lelaki kecilku.
(Sumber : Media Indonesia Online)